Dalam berkompetisi, dalam hal apapun, termasuk dalam Lomba Kompetensi Siswa, menang atau kalah adalah sebuah
keniscayaan. Jika menang, maka sombong adalah pantangan, jika kalah,
maka sabar adalah anjuran. Menang membuat kita harus lebih bersyukur
akan nikmat yang Tuhan berikan dengan semaksimal mungkin berbuat
kebaikan, namun tetap waspada akan munculnya kesombongan. Kalah membuat
evaluasi menjadi suatu keharusan yang pantang ditinggalkan, juga menjadi
cambuk diri untuk berusaha lebih baik di masa yang akan datang. Yang
terpenting adalah ikhlasnya niat dan maksimalnya usaha, menang atau
kalah Tuhan lah yang menentukan.
Namun tak sedikit dari orang yang mengikuti kompetisi masih kurang siap dalam menerima kekalahan. Terkadang mereka mencari-cari alasan yang bisa dijadikan kambing hitam mengapa dirinya tidak menang. Biasanya hal yang paling mudah mereka lontarkan adalah "juri atau panitia yang tidak fair dan terganggu oleh sarana prasarana lomba yang kurang memadai".
Menerima kemenangan tentu bukan sesuatu yang
sulit, berbeda halnya dengan bagaimana kita harus menerima sebuah kekalahan.
namun yang perlu kita garis bawahi adalah janganlah
karena sebuah kemenangan maka akan mencetak kita menjadi pribadi yang mengganggap
dirinya lebih dari orang lain, lebih pintar, lebih cerdas atau lebih hebat dari
orang lain. Kemenangan pada hakikatnya justru bagaimana kita tetap rendah hati,
tidak sombong dan senantiasa bersyukur kepada Tuhan karena kemenangan ini
terwujud pasti atas restu-Nya.
Dan yang tak kalah peting menjadi catatan untuk
kita garis bawahi juga dan di cetak bold bila perlu adalah kedewasaan sikap dalam menyikapi kekalahan supaya kita bisa
memacu diri kita dalam menata paradigma berpikir yang positif bahwa kekalahan
hanya sebuah kemenangan yang tertunda, meski kedengarannya sebagai kalimat
penyemangat semata, namun kalimat itu ibarat cambuk yang memacu kita untuk
tidak gampang menyerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar